Minggu, 12 Juni 2011

Sabita Namaku , Guru Cita-Citaku

Terlahir dr sebuah  keluarga  yang  sederhana  dan  bersahaja  itulah yang sll terukir  indah di hatiku. Sebuah nama  SABITA, begitulah aku dipanggil.  Dgn lima bersaudara aku melihat betapa orang tuaku harus banting tulang untuk menghidupi dan  menyekolahkan kami. Namun satu hal yg sangat aku banggakan atas orang tuaku bahwa mereka bekerja dengan tulus demi anak2nya  walau mungkin hanya sekedarnya.

Sewaktu aku masih ada di bangku klas IV SD, cita2ku menjadi seorang guru. aku tak tahu bahwa untuk impian itu butuh biaya yg tak sedikit dan waktu  yg sangat panjang. aku baru tahu saat duduk di klas VI setelah aku menyimak penjelasan bpk ibu guruku.  Apakah mungkin aku dapat wujudkan impianku?

Sejenak aku harus endapkan cita2ku karena  aku harus bergumul dgn kesiapan kelulusanku dari jenjang pendidikan dasar. Yang terpikir adalah bagaimana aku bisa lulus dgn hasil yang terbaik. Karena aku sadari hasil itulah yang membuat orang tuaku tersenyum dan seakan menambah rentang batas usia mrk bertambah.

Selain itu saat itu aku sangat ingin sekolah di SMP favorit di kotaku. Sekali lagi aku di hempaskan dgn kenyataan hidup karena ketidak mampuan ekonomi. Dan akupun harus belajar untuk bijaksana memandang hidupku. Tak mungkin bagiku dgn segala keterbatasan yang ada hrs memaksakan citaku maka akupun hrs bisa memuaskan diriku dgn sekolah di tempat yg tak jauh dr rumahku, untuk meringankan beban orang tuaku. Aku harus yakin keterbatasan ini takkan memasung keberhasilanku kelak. Aku juga tak mau memaksakan keinginanku pada orang lain terutama orang tuaku, sabar dan yakin semua pasti ada jalan keluarnya.

Mulailah aku dgn masa sekolah di SMP , aku menikmati suasana baru di sekolahku , teman2ku bertambah banyak. Semua berjalan indah dan aku belajar keras . dalam benakku hanya satu aku ingin yang terbaik untuk bpk ibuku. Di sela kesibukan belajar dan membantu keseharian tak lupa aku selipkan sebait doaku agar orangtuaku diberi kemampuan dan rezeki. Untuk meringankan orang tua maka kakakkupun membantu pembiayaan sekolahku.

Waktu berjalan dgn pesat nilai raporku membuat orang tua dan kakaku tersenyum. Begitupula banyak lomba dan kompetisi  yang kumenangkan. Semua tak lepas dr motivasi dan semangat yang diberikan orangtuaku. semua membekas dan terpahat di dadaku…“Nduk… walau kita tak berpunya  kamu harus punya cita2, kamu harus belajar yang rajin ya nduk…agar kamu tidak seperti bpk dan ibu…”

 Hingga tak terasa akupun sudah diambang detik2 UNAS. Targetku lima besar tercapai . tak kuhiraukan lelah keluh dan kesah yang ada di jiwaku. Yang aku mau bagaimana aku bisa menggunakan fasilitas sekolah yang mengadakan bimbel gratis.  Motoku hanya satu…”Aku bisa dan aku pasti bisa”….Sebab aku tahu orang tuaku juga kakakku sudah banting tulang untukku, Alhamdulillah segala kegigihanku,  dan doa orang tuaku terjawab,…aku lulus  dgn posisi 4 besar. 

 memang hidup ini bak roda dan aku tak mau terhempas aku harus kuat. Cita2ku hampir kandas. Orang tuaku sdh tidak kuat untuk bekerja  dan kakakkupun sudah dipinang orang. Tak mungkin aku meneruskan studiku..dan akupun berusaha memutar haluan hidupku…dgn bekerja

Tak kuhirau teguran guruku saat beliau nasehati  agar aku melanjutkan sekolah.  dengan terbata2 kusampaikan ”apakah mungkin dengan sepetak tanah yang hanya mampu menghasilkan uang 3 atau 4 bln sekali  dan hanya cukup untuk makan, lalu hrs membiayai sekolahku  setiap bulan ?”. Beliaupun menasehatiku  “ tabah dan sabar, sebab semua sudah diatur Alloh SWT dan yakinlah semua ada penyelesaiannya… Bu guru yakin kamu pasti bisa melaluinya”.

Saat pembagian ijazahpun tiba. Bersamaan dengan itu aku ditawari guruku  untuk bekerja di rumahnya. Akupun minta pertimbangan bpk ibu dan kakakku. Mulailah aku menjadi pengsuh bayi guruku.

Setiap hari aku berjibaku dgn pekerjaan mengasuh bayi  yg baru berusia 3bln. Bangun pagi tak nyenyak tidurkupun sudah menjadi kebiasaan dalam hidupku. Kujalani semua dengan senyum dan sabar.  Dan Tak terasa tibalah tahun ajaran baru. Aku ditawari guruku untuk sekolah  di sekolah kejuruan di Madiun 

Aku harus bangkit. Aku tatap masa depanku. Aku kayuh roda hidupku…aku nikmati epidode hidupku. Dan akhirnya akupun mampu adaptasi. Tak terasa temankupun bertambah.  Tak lupa disaat saat tertentupun aku selalu curhat dengan guru yang membiayaiku. Untuk pengayaan mentalkupun guruku mengenalkan aku dengan pembinaan rutin yang diadakan LMI.

Akupun akhirnya menjadi anak asuh binaan lembaga sosial yang mengelola keuangan umat dan pemberdayaan umat tersebut. Sungguh dunia lain yang membuatku bisa menatap ke depan… aku  pun makin tahu bahwa hidup ini indah dan aku ingin tetap bermanfaat dengan kehidupanku. Mulailah aku asah kembali cita2ku dan kelak impianku ingin aku wujudkan dlm kehidupan nyataku….amin.

Belajar dari Kisah Halimah Sa'diyah

HALIMAH R.A. mengatakan, "Aku datang ke Mekah bersama beberapa perawat penyusu bayi dari suku Bani Sa'd ibn Bakr, mencari bayi-bayi yang baru lahir. "

"Ketika kami sampai di Mekah, setiap wanita dari kelompok kami ditawari untuk menyusui bayi Muhammad, untuk menjadi ibu susuannya. Tapi, semua menolak tawaran itu ketika mereka tahu bahwa Muhammad adalah seorang anak yatim. Semua teman wanitaku meninggalkan Mekah membawa seorang bayi. Tapi sayang, tak seorangpun mau menyusui Muhammad. Aku berkata pada suamiku bahwa aku ingin membawa anak yatim itu."

"Saat aku pergi untuk menjemputnya, beliau sedang  tidur amat nyenyak. Aku berhati-hati untuk tak membangunkannya karena keindahan dan kemuliaannya. Dengan berhati-hati, aku mendekatinya dan menaruh tanganku di dadanya. la pun tersenyum dan membuka kedua matanya sementara aku sedang melihatnya.

"Aku menciumnya di antara kedua matanya dan memberikan padanya dada kananku. Aku berikan susuku sebanyak yang ia mau. Lalu, aku pindahkan posisinya ke dada kiriku, tapi ia menolak. Setelah ia puas, aku baru menyusui bayiku. Segera setelah aku membawanya ke tendaku, kedua dadaku pun mulai mengucurkan susu. Dengan karunia Allah, Muhammad minum hingga ia puas, demikian pula bayiku."

"Suamiku pergi menuju ke unta tua kami untuk memerah susu bagi kami dan terlihat unta itu penuh dengan susu. Suamiku memerah susu dari unta itu cukup banyak. Kami berdua meminum hingga puas dan kami pun melewati malam yang indah. Suamiku berkata, “Halimah, sepertinya kau telah mengambil satu ruh yang berkah”. Kami melalui malam pertama dalam berkah dan karunia, dan Allah terus memberikan kami lebih banyak. Lebih banyak sejak kami memilih Muhammad sebagai anak susuanku."

"Aku pun memohon pamit pada ibunda Nabi dan menunggangi keledai betinaku, sambil membawa Muhammad Saw. di kedua tanganku. Keledaiku mengejar dan melampaui semua keledai para teman wanitaku yang pulang lebih dulu bersamaku.

Saat kami tiba di kampung Bani Sa'd, suatu kampung yang paling kering dari tanah ini,  domba-domba kami penuh dengan susu. Kami memerahnya dan dapat meminum banyak sementara domba para tetangga lainnya  tidak memiliki setetes pun susu.

Yang lain mulai menceritakan hal ini pada yang lainnya, “Pergilah merumput ke tempat gembala putri Abu Tsu'aib biasa pergi. Tetap saja domba-domba mereka kembali dalam keadaan lapar, tanpa susu."